Sumber: Google |
Teman-teman
pasti sudah hafal Pancasila bukan? Sila pertama yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Yang artinya Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama
dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kali ini saya membahas sedikit tentang Jurnal Cita Hukum: Vol. 3, No. 2, 2015
terbitan dari Fakultas Syari'ah dan Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berjudul "Menyoal Kebebasan Beragama dan Penodaan Agama di Indonesia
(Telaah atas Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009))" yang ditulis oleh Yayan
Sopyan. Daripada teman-teman penasaran, baca sampai selesai ya:)
Indonesia adalah negara hukum yang menerapkan prinsip konstitusionalisme.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK) sebagai lembaga penguatan
terhadap dasar-dasar konstitusionalisme pada UUD 1945. Selaras dengan ide
pembentukan MK yang merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum
ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke 20. Menurut Soiman, dengan
mengembangkan asas-asas demokrasi dimana hak politik rakyat dan hak azasi
adalah tema dasar dalam pemikiran politik ketatanegaraan. Hak dasar tersebut
secara konstitusional dan diwujudkan secara institusional yaitu oleh sebuah MK.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi di era reformasi salah satunya bertujuan
untuk menegakkan dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan
pelindung Hak Asasi Manusia (HAM). Termasuk dalam hal ini, hak untuk memeluk
agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing, sesuai dengan
amanat konstitusi. Namun, disisi lain ada wacana kebebasan berekspresi dan
kebebasan berpendapat termasuk didalamnya kebebasan untuk menyiarkan keyakinan
dan pemahaman keagamaan yang “menyimpang” dan bertentangan dengan “mainstream”
keyakinan dan pemahaman keagamaan pada umumnya, seperti dalam kasus Ahmadiyah.
Pokok masalahnya adalah Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Mirza Gulam Ahmad
adalah Nabi terakhir. Sementara dalam aqidah umat Islam, nabi terakhir adalah
Nabi Muhammad SAW, tidak ada Nabi setelahnya. Siapapun yang mengaku nabi
setelah Nabi Muhammad SAW adalah nabi palsu. Sedangkan ajaran yang dibawanya
adalah menyimpang dan sesat, dan dinyatakan keluar dari Islam. Bagi Islam, ini
merupakah harga mati, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Namun penganut Ahmadiyah,
bersikeras bahwa mereka bagian dari Islam, dan tidak mau dikatakan bahwa
Ahmadiyah merupakan agama baru. Mereka menolak pula dikatakan sesat. Namun,
disisi lain, mereka masih tetap berkeyakinan bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah
Nabi terakhir. Mereka menganggap bahwa kepercayaan mereka terhadap kenabian
Ahmadiyah merupakan hak berekspresi dan hak menyampaikan pendapat. Bukan
penistaan atau penodaan terhadap agama. Disisi lain, bagi umat Islam, pendapat
tersebut merupakan penyimpangan dan penodaan atas kemurnian ajaran agama Islam.
Inilah masalah terbesar dari konflik Ahmadiyah.
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini dituntut untuk mampu memberikan sikap
terbaik saat dihadapkan judicial review dalam kasus serupa selain tetap
dituntut untuk mengawal konstitusi agar dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Yuk kita cari tahu lebih lanjut! Kalian bisa buka link
ini dan download secara gratis http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/citahukum/article/view/2314.
Selamat membacaa😄 Semoga bermanfaat😄︄
2 Komentar
👍👍👍
BalasHapusBermanfaat kaka 😊
BalasHapus