EMPAT "SEKOLAH", SATU PEMENANG

Masih ingat dengan berita tentang prostitusi online dan undangan pesta bikini untuk anak SMA di sebuah hotel? Bagaimana respon siswa terhadap undangan pesta bikini itu? Dan Bagaimana anak remaja yang terlibat prostitusi online? Dua kasus ini berkaitan dengan dunia pendidikan, khususnya masa depan anak-anak dan remaja. Kali ini saya membahas sedikit tentang artikel yang diterbitkan Go Cakrawala pada Tanggal 15 Juni 2017 berjudul "Empat "Sekolah", Satu Pemenang" yang ditulis oleh Jejen Musfah selaku dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Karakter anak dibentuk oleh pengalamannya di keluarga, sekolah, masyarakat, dan media (gadget dan televisi). Baik dan buruk anak sangat terpengaruh oleh siapa dan apa yang dominan dari keempat sekolah tersebut. Sekolah pertama adalah keluarga. Di rumah setiap orangtua punya peraturan tak tertulis tentang baik-buruk, boleh dan tidak boleh. Namun, setiap orangtua punya caranya masing-masing dalam menyampaikan nilai tersebut kepada anak-anak. Disarankan, mendidik anak dengan filosofi main layang-layang. Tarik-ulur. Kasih-sayang orangtua penting bagi pertumbuhan anak, tapi jangan sampai berlebihan, sehingga malah memanjakan anak.
Sekolah kedua adalah sekolah. Tidak hanya pembelajaran di kelas, di sekolah ada ragam kegiatan untuk membentuk karakter siswa. Akan tetapi, sekolah sering lupa bahwa bukti lebih penting daripada kata-kata atau yang tertulis. Tata tertib, visi-misi, dan buku-buku pelajaran selalu berisi hal-hal baik. Demikian juga kepala sekolah, guru, dan staf selalu bertutur kata yang baik. Namun kenyataan sering menunjukkan sebaliknya. Lebih mudah bicara tinimbang praktik.
Sekolah ketiga adalah masyarakat. Anak hidup di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Mereka punya teman bermain yang “sealiran”. Mereka tidak hanya belajar dari teman sebayanya—di dalam maupun di luar rumah, tapi juga dari orangtua temannya (bagaimana mereka disambut dan diperlakukan selama bermain di rumah temannya sangat tergantung pada sikap tuan rumah).
Sekolah keempat adalah media (gadget dan televisi) sebagai bacaan dan tontonan wajib anak-anak generasi teknologi dan informasi (TI) saat ini. Tak ada hari tanpa gawai. Gawai menjadi sekolah baru bagi anak-anak, melengkapi budaya nonton televisi yang eksis puluhan tahun lalu hingga saat ini. Seperti televisi, gadget memiliki nilai baik dan buruk. Jika digunakan secara bijak, dengan atau tanpa bimbingan orangtua, maka gadget menjadi alat atau media yang menyediakan banyak hal positif, khususnya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Demikianlah empat sekolah secara bersama-sama membentuk anak-anak dan generasi muda Indonesia. Wajah dua generasi tersebut saat ini merupakan bukti siapa sesungguhnya pemenang (baca: pembentuk) karakter dua generasi kita tersebut. Siapakah yang lebih berpengaruh membentuk generasi muda kita? Orangtua, sekolah, masyarakat, atau media gadget dan televisi?

Baca selengkapnya di http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/32562. Selamat membaca dan semoga bermanfaat😄

Posting Komentar

5 Komentar